Jumat, 18 Mei 2012

Dear,Future Me...

Hai. Kemarin kamu sedang bersedih, tapi seperti biasa, kamu bisa menyembunyikannya dengan tawa. Iya itu karena dia, salah satu pria yang pernah memasuki benakmu saat itu. Iya, laki-laki yang keluar masuk di kepala dan hatimu kan tidak banyak, hanya beberapa, pasti kauingat yang kumaksud siapa, dan lalu saat detik matamu terpaku pada barisan aksara ini, kau sembari tertawa akan melihat sosok pasangan yang membahagiakanmu, yang akan selalu menyayangimu, melindungimu, selamanya. Amin.
Kenapa ya aku … kita sering begini?
Kemarin aku pikir aku sudah berlari jauh meninggalkan sakit itu, tapi ternyata aku hanya seperti berlari di atas threadmill. Aku masih di posisi yang sama. Keingintahuan itu terkadang menyakitkan, keingintahuan akan orang yang tidak tahu ada kita yang mengawasinya dari kejauhan.
Pura pura lupa berkali-kali tidak membawaku pada amnesia.
Pura pura sudah sembuh tidak membawaku pada tidur yang nyenyak
Pura pura tidak menangis tidak membawaku pada senyum yang berkepanjangan.
Entah kenapa kutuliskan surat ini, mungkin sebagai pengingat, bahwa aku, kita, pernah mengalami hal yang berat sebelum bertemu orang yang meringankan segalanya dalam sisa perjalanan.
Katakan padanya, dapat salam dariku, kamu di masa lalu. Katakan, aku sungguh ingin memeluk dia sekarang, saat ini dan mendengarnya berkata “Ada aku, semua akan baik baik saja”. 
Aku tahu mungkin bukan sekarang saat yang tepat bertemu dia, dan aku akan sabar menunggu hingga detik itu tiba. Dia akan menjadi penampung semua peluk & tissue atas semua air mata, ya kan?
Salam dariku, untukmu, untuknya. Kalian pasti sedang dan akan terus berbahagia.

Masa lalu dan bayangannya

Ada saat dimana kita tidak perlu menoleh ke belakang.
Jangan lihat lagi apa yang sudah (ikhlas) kita tinggalkan.
 Aku percaya, itu akan meringankan langkah, untuk menjemput sesuatu yang baru.
 Sesuatu yang lebih melegakan.
 Sesuatu yang membuat kita bersyukur, karena menjemputnya dengan tangan yang sengaja sudah dikosongkan.
Sungguh itu tidak semudah bernafas.
 Aku berdiam terlalu lama untuk menahan diri tidak menoleh ke belakang.
Saat aku berhenti, waktu tak ikut menemani.
Dia terus berjalan.
Pilihanku, tertinggal jauh di masa lalu atau kukejar waktu dengan harapan.
Kuputuskan untuk mengejar waktu, semoga tak tersandung lagi oleh bayanganmu.

BUKU WAKTU....

Ada rentetan huruf yang belum ku-eja. Tersimpan dalam buku waktu. Kutelusuri satu per satu halamannya. Hingga kutemukan namamu.
Buku waktu..
Aku tau bab awal, tapi aku tak tahu kapan bab terakhir. Yang kutahu aku harus terus membuka satu per satu. Pada suatu halaman, aku beri pembatas buku berupa pita berwarna merah. Aku terhenti. Aku berhenti. Di situ.
Enggan membaca lagi. Kutinggalkan di rak buku. Setiap kutengok, yang aku lihat jelas hanya seutas pita merah itu.
Terantuk di satu masa, ingin kusobek halaman berpembatas merah itu. Kuremas-remas dan kucabik, lalu kubuang saja di sampah. Karena di halaman itu, kata kata yang tertulis terlalu tajam seperti belati. Ceritanya menyakitiku. Huruf-hurufnya menerjang akal sehatku. Setiap paragrafnya melumpuhkanku.
Aku terduduk di lembah bisu. Tak ada yang kubaca lagi.
Kemudian angin sepi menyepoi poniku. Keheningan merambati kulitku. Aku bergidik. Kusentuh lagi buku waktu itu.
Kupegang pita pembatas berwarna merah di sela halaman yang kubenci. Warna yang cantik. Tapi bukankah itu, yang menjerujiku. Pita itu selalu menjadi pengingat akan alur yang tak kuingin kubaca, tapi bukankah buku ini belum selesai?
Kutarik dan kuenyahkan pita itu, dengan segenap tenaga kubalik lagi halaman baru. Berhenti terlalu lama membuatku lupa aksara. Kini aku kembali belajar membaca..
…… dan akan ku-eja namamu segera. Di halaman - halaman setelahnya.