Minggu, 30 Oktober 2011

Mortui Vivos Docent (Yang Hidup Belajar Dari Yang Mati)-Posting dr.Posma>>

Mortui vivos docent, bahasa latin yang terpampang gagah di depan pintu masuk laboratorium anatomi, artinya yang hidup belajar dari yang mati. Ian memasuki ruang itu agak tegang, karena yang akan mereka lihat dan pelajari di sini adalah mayat yang diawetkan dengan formalin (cadaver). Dia merasa tegang karena secara psikologis belum terbiasa melihat mayat, dan juga bau formalin pengawet mayat menyengat menusuk hidungnya.
” Ini guru kalian, dosen kalian, hormati mereka seperti menghormati kami. Jangan dianggap cadaver ini hanya mayat. Mereka yang ajarin kalian anatomi, tentang fisiologi, sistematika tubuh, yang tak bisa dijabarkan hanya dengan menghayal dan berimajinasi. Tugas kalian adalah menyelidiki tiap detil tubuh manusia dari kulit, otot, pembuluh darah sampai ke tulang. Selamat bekerja.”
Dokter Ida terus keliling laboratorium diantara kami ber 89 orang, mengamati praktek serius sekali. Mahasiswa yang muka jijik melihat cadaver dibentak, tapi lebih parah yang cengengesan memegang-megang pisau scalpel, langsung dicatat Bu Ida dan berapapun nilai semesterannya, paling tinggi hanya dapat C.
” Dokter itu soal moral dan etika nomor satu. Kalau dengan manusia yang sudah mati saja kamu tidak hormat, apalagi dengan orang hidup. Kalau senyam-senyum cengengesan begitu kamu tidak pantas jadi dokter, kamu pantasnya jadi selebritis, dan selebritis paling tinggi nilainya C di kelas saya.” Dokter Ida geram sekali kelihatannya.
Ups!! Purwanto yang ditegur tetap senyum, tidak sedih dan belakangan kami tahu dia masuk kedokteran pilihan kedua, jauh di lubuk hati paling dalam dia mau masuk ITB. Dan benar juga, tahun depannya dia lulus UMPTN lagi , walaupun tetap tidak di ITB, namun di pilihan keduanya kali ini di ITS.
Belakangan tahun 2006 kemarin namanya jadi ngetop di koran terkait kasus jembatan yang baru dibangunnya 4 bulan sudah rubuh di desa weleh agung. Memang tidak ada korban jiwa, Pur sang kontraktor hanya diwajibkan membangun ulang jembatan dengan pengawasan lebih ketat dari Dinas Pekerjaan Umum. Semua teman seangkatan Purwanto 11 tahun lalu di FK Balaputra menengadahkan tangan mengucap syukur Purwanto tidak melanjutkan di kedokteran. Bayangkan kalau pasien mati karena kelalaiannya, apa bisa dihidupkan lagi? Oh……..Tidak. Orang pintar yang tidak care lebih baik ngurusi benda mati saja.
Pengalaman hari-hari pertama kuliah anatomi tersebut masih membekas dihati Ian. Dokter Ida yang killer itu berhasil mengajarinya hormat pada kehidupan, tidak menertawakan pasien dan yang terpenting Ian mulai menghargai seseorang bukan hanya dari kemampuan intelektualnya semata, sebab sepintar apapun mereka anak FK kalau cengengesan di depan cadaver nilai paling tinggi C.
” Lihat cadaver ini. Anak muda umur diperkirakan antara 20 sampai 25 tahun, berdada bidang, atletis dan banyak tatto. Meninggal karena 1 luka tusukan kecil tepat di jantung. Jenazahnya dianggap Mr. X, karena tidak diambil setelah 1 bulan di kamar jenazah forensik. Mortui vivos docent, belajarlah dari kematian anak muda ini. Betapa sakitnya jika tidak seorang pun mengenali kita. Atau pun jika ada yang kenal, tidak mau mengakui kenal kita.” Dr. Ida berkata-kata matanya menerawang ke atas, mirip pujangga sedang bersajak indah.
Untuk FK negeri, merupakan kemudahan tersendiri mendapatkan cadaver. Hampir tiap bulan ada 2-3 jenazah yang tidak bertuan atau tidak diambil keluarga selama 1 bulan di rumah sakit pendidikan milik pemerintah. Biasanya jenazah ini ditawarkan ke FK untuk dijadikan cadaver. Jenazah tersebut diperlakukan baik selayaknya jenazah biasa, dimandikan, disholatkan, dikafani, bedanya setelah semua proses tersebut, jenazah dimasukkan ke dalam bak berisi formalin 96%.
Seperti angkatan Ian yang berjumlah 89 orang, mereka kebagian 9 cadaver, untuk 10 kelompok. Tugas mereka mengurai cadaver dari kulit, otot, pembuluh darah, syarat, sampai ke tulang, dalam waktu 2 semester. Kalau di FK swasta, lebih sulit, konon kabarnya untuk 1 cadaver, mereka harus membayar jenazah 25-30 juta rupiah. Waw, pantesan mahal kuliah di FK swasta.
Ian Suwardi terlahir dari ayah kepala sekolah SMA negeri di pinggiran kota dan ibunya ibu rumah tangga biasa. Dia tumbuh sebagai remaja kelas menengah di kota kelahirannya Ogan. Bapaknya yang kepala sekolah termasuk contoh kepsek terjujur di OGAN bahkan mungkin di negeri Gemah Ripah ini. Walaupun telah menjabat kepsek 5 tahun, mereka hanya menempati rumah tipe 70 itu pun yang dikredit 15 tahun. Kendaraan sehari-hari juga hanya minibus second. Pak Suwardi, kepala sekolah jujur itu tidak pernah ”main buku” dan main ”uang bangku”, namun lucunya, dia tidak pernah dipromosikan menjadi kepala sekolah di SMA yang lebih elite di tengah kota, karena kabarnya kalau mau menjadi kepala sekolah seperti itu harus kasih upeti 1 mobil avanza (minimal) ke kepala dinas. Matilah, sampai lebaran monyet gak bakalan bisa!
Kesucian hati Pak Suwardi akhirnya ternoda saat Ian kelas 3 SMA. Ian yang di SMA Negeri Ujung Kota hanya duduk di peringkat 2 calon PMDK (penerimaan minat dan kemampuan, suatu cara masuk universitas negeri langsung tanpa test) untuk Universitas Balayuda, di bawah si peringkat 1 Amrullah. Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, setahun SMA ini biasanya hanya dijatah 1 orang masuk langsung universitas bergengsi di kota Ogan tersebut.
Merenung 3 hari, tidak enak makan 4 hari, menangis saat sholat tahajud 7 malam, akhirnya dengan tekad bulat Pak Kepala Sekolah Suwardi memutuskan berbuat dosa sekali saja buat anaknya. Semua nilai SMA Ian dari semester 1 sampai 5 dimanipulasinya sedemikian rupa sehingga lebih besar dari Amrullah. Pak Suwardi dalam rapat tertutup memohon guru-guru mata pelajaran yang berkaitan dengan nilai-nilai tersebut agar maklum.
” Bapak-bapak, Ibu-ibu, guru SMA Negeri Ujung Kota yang terhormat. Saya selama ini selalu jujur dan transparan kepada kalian tentang dana BOS (dana operasional sekolah), dana ujian dan dana program-program kerja yang lain. Dan sekarang pun saya MAU JUJUR kepada kalian, bahwa saya pertama kali akan bertindak TIDAK JUJUR sebagai kepala sekolah demi anak saya. Besok, daftar usulan peringkat PMDK ke Universitas Balayuda akan kita kirimkan dan seperti biasa kita usulkan 10 nama terbaik. Kemungkinan besar yang diterima cuma satu. Ian anak saya lumayan pintar, tapi dia tidak sejenius Amrullah. Sebagai kepala sekolah yang baik saya pasti akan mengajukan Amrullah di urutan pertama karena dia brilyan. Tapi sebagai seorang bapak, saya mohon saudara-saudara ijinkan saya mengajukan Ian di urutan pertama dengan segala penyesuaian nilainya. Ini bukan perintah, ini permohonan atau saya boleh bilang saya mengemis pada saudara-saudara.” Pak suwardi terdiam terisak-isak 10 detik,menyeka air mata dari kacamatanya.
Para guru pun terdiam, ada yang matanya berkaca-kaca. Maklum saja dari 15 guru di sana hanya Bu Lastri dan Pak Johan yang belum punya anak, karena masih lajang. Semua guru lain mengerti cita-cita bapak terhadap anaknya, obsesi seorang Kepsek jujur ini pun dapat dimengerti.
Mungkin inilah kolusi teragung dan nepotisme yang terindah yang pernah mereka saksikan seumur hidup. Pak Suwardi si kepsek berhati malaikat akhirnya memetik buah dosa di Taman Firdaus demi kuliah sang anak. Kalau sudah begini, siapa yang berani mengatakan kolusi dan nepotisme itu dosa?
”Saya mohon, bapak dan ibu tidak menceritakan hal ini kepada orang lain, terutama ke Amrullah. Bila nanti saatnya tiba, saya akan meminta maaf langsung kepada dia.” Kata terakhir di rapat itu selesai, tapi airmata terus berlinang di mata beberapa peserta. Confidential. Case was closed !
Ya, akhirnya yang diterima PMDK dari SMA itu ternyata dua orang. Ian Suwardi di fakultas kedokteran dan Amrullah Hamid di fakultas pertanian. Amrullah si jenius tidak mau mendaftar ulang untuk pertanian, dia lebih memilih bertarung lagi di UMPTN untuk mengambil kedokteran dan memang dasar otak encer, dia pun masuk FK Universitas Balayuda. Ian karena PMDK nomor urutnya 6, sedang Amrullah nomor urut 55.
5 September 1996 malam, 52 alumni SMA Negeri Ujung Kota yang lolos UMPTN membuat acara sedekahan kecil-kecilan bakar jagung di halaman SMA mereka, dengan mengundang semua guru. Untuk SMA pinggiran, prestasi mereka lumayan tahun ini, hampir 25% muridnya masuk UMPTN.
”Amrullah, selamat, ya. Kamu akhirnya masuk kedokteran yang sangat kamu cita-citakan.” Pak Suwardi menjabat erat tangan mantan muridnya itu dengan hangat. ”Ada satu hal yang perlu bapak ceritakan kepada kamu soal……..” Kata-kata Pak Suwardi tertahan, menelan ludah agak ragu dia melanjutkan.
”Tak apa-apa, Pak. Saya tahu dan saya mengerti kok, Pak. Saya pun akan melakukan hal yang sama, jika saya dalam posisi Bapak. Dan apapun yang telah Bapak lakukan kemarin tidak masalah. Saya akan tetap mengenang kepemimpinan Bapak yang jujur dan berwibawa. Dan Bapak adalah ayah yang gigih dan pejuang keras. Bapak berani berkorban apa saja demi anak Bapak. Saya akan tetap meneladani Bapak. Permisi, Pak!!” Amrullah kembali ke acara di lapangan bercanda lepas dengan semua teman tanpa beban, sementara sang kepsek terdiam, penuh beban berat di dada. Untung dia bukan perokok, bukan peminum dan tidak gemar makan junk food, sehingga dia tidak kena serangan jantung saat itu.
Ya, kejujuran. Harta teragung yang tersisa di republik ini, yang dulu ada pada diri Pak Suwardi telah tergadai 5 bulan lalu demi sang anak. Motivasi serupa pasti menjadi alasan 80% koruptor di negeri ini,”Aku korupsi demi anakku, biarlah aku bergelimang dosa asal dana pendidikan anakku di Sydney cukup.” Mirip juga dengan curhat Sarintem si WTS, ”Biarlah aku bergelimang noda, hinaan, peluh dan lendir menjijikkan ini asalkan anakku di kampung bisa sekolah.” Bedanya Pak Suwardi melakukannya dosa itu sekali seumur hidup, sedangkan yang lain keterusan.
Ian masuk kedokteran dengan bangganya, bagaimana tidak, waktu OPDIK (orientasi pendidikan) saja tiap mahasiswa fakultas lain memandang kagum kalau terlihat tulisan di tanda pengenal ada ’FK’-nya. Cewe secantik apa pun pasti tersenyum manis. ”Nikmati saja manisnya senyum cewek fakultas lain, Yan. Mumpung orientasinya masih gabung mereka. Nanti kalau dipisah, di FK kita cewek-cewek yang tersisa pasti kumel, gak sempet berbedak, kaca mata tebal, pakaian model nenek-nenek. Hehehe.” Juan, si handsome cekikikan. ”Kalo tahu begitu, kenapa mau masuk kedokteran, Juan? Kamu jadi pemain sinetron mungkin lebih cocok.” Ian pun penasaran.
Diplomatis Juan bercuap-cuap,” Mamaku kencing manis, Papaku hipertensi. Semua kakek-nenekku dari kedua pihak keluargaku meninggal karena stroke. Jadi penyakit adalah musuh bebuyutan keluarga besarku. Aku harus balas dendam….Bersama sinar rembulan…aku melawan mereka. Lagian, walaupun dokter cewek jelek-jelek, perawat kan banyak yang cantik. Tak ada rotan, akar pun jadi. Hehehehe…” Juan cekikikan lagi, ya si handsome memang terkenal playboy sejak SMA. Jauh dari Kota Maung dia ke Kota Ogan, karena yang penting kuliah FK, dan di universitas negeri, sebab kalau di swasta biayanya bisa 3-5 kali lipatnya.
”Bokap gue pengusaha lumayan di Bandung, Yan. Tetapi kalau menjadikan aku dokter dia harus keluarkan duit 500 sampai 800 juta, lebih baik dia kasih duit itu sekarang ke aku dan aku buat bisnis warnet, mini market, bimbingan belajar atau kursus komputer. Bener, gak?”
Ian mengangguk-angguk, tapi mukanya pucat juga. Bapak Juan bisa kasih uang 500 juta rupiah buat usaha ke anaknya, CASH!! Saat ini juga. Bapak dia bisa kasih berapa, ya? 500 ribu aja mungkin harus minjam dari koperasi sekolah.
Kuliah pre-klinik terasa monoton, yaitu belajar di ruangan kuliah, laboratorium lalu ujian. Nilai Ian cukup-cukup makan, yang penting tidak ada merah. Dan beruntung ia satu angkatan dengan si spesial one, Lexy Handayani puteri Prof. Dr. Mulyana Prakasa, Sp.B.Ort (spesialis bedah Ortopedi), Pembantu Dekan I di FK Universitas Balaputra. Lexy yang otaknya pas-pasan, diusahakan sedemikian rupa oleh Papanda tersayang agar tidak tertinggal dalam SKS dan tamat tepat pada waktunya, kalau perlu lebih cepat dari yang telah diprogramkan. Contohnya sebelum angkatan mereka masuk, mengambil SKS harus sesuai indeks pretasi kumulatif (IPK) yang dicapai semester sebelumnya (misalnya: IPK lebih dari 3 bisa ambil sampai 24 SKS, tapi jika IPK 1, hanya bisa mengambil 6 SKS), maka sejak Lexy kuliah dan IPK nya antara 1,5- 2,5 saja, maka papanda tersayang membuat dekrit darurat, bahwa sejak angkatan FK 96, ambil SKS tidak perlu memperhatikan IPK lagi, sesanggupnya, semaunya, sampai termehek-mehek juga bisa. Bahkan si Lexy pernah ambil 28 SKS, karena nilai D dan E setengah mati pun tidak dapat diubah papanda menjadi C, tanpa mengulang.
” Kalau Prof. Mulyana paksa saya ubah nilai Lexy dari E ke B malah A, saya akan keluar dari Universitas ini dan akan saya ungkapkan masalah ini ke media masa, KOMNAS HAM, KOMISI YUDISIAL, WHO, DPR. Saya serius, ini masalah ilmu dan kompetensi! Mati semua anak orang kalau ada dokter dipaksa lulus seperti itu.” Ancam Prof Anwar, guru besar fisiologi kami. Dia memang terkenal jujur dan penentang manipulasi nilai ujian di FK. Ini bisa dimaklumi memang, karena tidak ada seorang pun anaknya yang kuliah di kedokteran. Anaknya ada yang ambil komputer, design interior bahkan ada yang tidak kuliah karena sudah tenar dan jadi selebritis dari ajang Kontes Dangdut Ogan Mania. Akhirnya, dengan berat Lexy tetap harus berjuang mengulang nilai D dan E, tapi waktu mengulangnya sesuka dia.
So, mahasiswa FK angkatan Ian memang orang-orang yang beruntung, dan beberapa senior pun menjadi ikut enak.
Namun ada 9 mahasiswa angkatan 94 yang 2 tahun diatas mereka ketiban sial. Senior-senior itu sempat demonstrasi ke ruang Pembantu Dekan (PD) I. Mereka ada hutang kuliah Farmakologi III di semester depan (semester genap), tapi karena Lexy ingin ambil Farmakologi III semester ini (semester ganjil), maka papanda Lexy yayang mengubah jadwal Farmakologi III ke semester ini. Ada kira-kira 63 orang senior yang tertolong dengan keputusan ini, tapi 9 mahasiswa ini malah harus menunggu 1 tahun lagi, padahal mereka ber 9 hanya hutang Farmakologi III saja, sebelum dilantik jadi sarjana kedokteran (S.Ked.).
”Banyak mahasiswa yang terbantu dengan perubahan jadwal ini!!” Kilah Prof. Mulyana diplomatis.
” Tapi perubahan jadwal itu mendadak sekali, Prof. Kami tahunya sampai semester kemarin jadwal Farmakologi III itu di semester genap, maka itu kami tunda mengambilnya. Kami, kan rugi waktu, Prof. Kalau memang ada perubahan jadwal, dari semester kemarin mestinya disosialisasikan dahulu. Jangan hati harian , dong. Sekehendak Prof saja mengubah jadwal.”
Mata Prof. Mulyana melotot, merah meradang hampir keluar dari rongga mata di tengkoraknya. ” Kalian jangan mengatur saya, ya? Kalian kemampuan belajarnya kurang!! makanya kalian telat, itu intinya. Apa kalian kira ambil Farmakologi III bisa langsung lulus? Langsung dilantik S.Ked.? Belum tentu juga, kan? Kalau tidak mau diombang-ambing peraturan, belajar yang benar supaya semua pelajaran tidak tinggal. Sekarang keluar, atau saya panggil satpam, atau saya skors!!!!”
” Ini semua gara-gara si kurang ajar Lexy! Awas dia nanti, kalau ada kesempatan aku balas demdam!” Kak Riswan menggerutu, Tapi Bang Bonar tertunduk lemas. “Habis! tambah lama awak terjebak di Ogan ini. Ah, susah kalo anak bisa ngatur bapak.”Akhirnya demontrasi mereka bubar. Ya, lebih baik rugi 1 tahun daripada di drop out karena dianggap tidak menghormati guru. Sebab ada pepatah mengatakan …jika guru kencing berdiri, maka………..Guru itu laki-laki, sebab kalo guru itu perempuan dia kencingnya jongkok. Masuk akal, kan?
“ Kasihan ya, senior kita itu. Rull. Gara-gara Lexy jadi terlambat masuk klinik satu tahun.” Ketus Hilda si kacamata minus 3.
Amrullah menggangguk, lalu tersenyum.”Kasih sayang bapak sama anak itu harga mati, Da. Aku pernah ketemu guru yang sangat jujur, tapi demi anak jadi gelap mata juga. Tapi guru itu hanya mengorbankan satu murid. Sedangkan Prof. Mulyana ini lebih gila, 9 murid, padahal 2 diantaranya pengurus senat. Cinta bapak pada anak kadang bikin dilema…kasian.”
Saat bicara itu Amrullah tak sadar, Ian temannya si anak Kepsek sedang berdiri dibelakang mereka. Ian tertegun dan menegur Amrullah, ” Maksud lo, Bapak ku, kan?” Amrullah terkejut, ” Eh, Yan. Kamu di sini? Maaf aku gak tahu kamu di belakang.”
”Jawab dulu! Maksud omongan kamu tadi bapak ku, kan?” Ian bicara agak getir, entah campuran penasaran, marah, sedih, sampai matanya agak berkaca-kaca.
”Ian, temanku sayang. Aku tidak mau jawab dan tidak perlu lagi dijawab! Kamu lagi emosi. Tanya sendiri pada Pak Suwardi kebenarannya. Aku pergi dulu. Kita ngobrol lagi besok kalau kamu sudah tenang. Yang penting kamu tahu, dalam perkara ini, aku adalah korban, jadi kamu gak berhak marah dan aku tidak bersalah. Sampai besok, Ian.” Amrullah pergi, mukanya tetap santai.
” Lho, kok pergi. Ada apa kalian, Yan?” Hilda bingung. Ian menunduk, mukanya pucat. Selamat bingung aja Hilda, karena setahu dia Amrullah dan Ian adalah dua sahabat karib yang tak terpisahkan. Amrullah si Jenius IP-nya (indeks prestasi) selalu diatas 3, bahkan semester 1 dan 3 IP-nya paling besar. Sedangkan Ian selalu belajar bersama Amrullah, IPnya antara 2,5 ke 3 tapi tidak pernah ada angka merah. Tapi membahas Lexy dan Prof Mulyana, kenapa keduanya bersitegang? ”Ah, peduli amat, sanak bukan, saudara apalagi. Kalau mereka mau cerita oke, gak cerita gak papa.”
Dan seterusnya, dan seterusnya dan akhirnya Ian, Amrullah, Hilda, Juan, 13 mahasiswa lain seangkatan Ian di FK 96 dan tentu saja Lexy si special one dapat dilantik menjadi dokter muda, atau Sarjana Kedokteran (S.Ked.) tepat waktu pada 15 januari 2000. Sedangkan 71 orang lainnya angkatan 96 FK Balayudha ketinggalan kereta.
Sebagian besar sih memang karena tidak sanggup otaknya atau tidak tekun, tetapi ada juga seperti Henky Aritonang, yang salah jurusan. Tahun 98 kemarin dia yang paling getol berdemonstrasi menurunkan orde baru. Jadi nilainya merah melulu.
” Kamu pindah aja ke sospol, Hen.” Kata teman-teman.
” Aduh, Lae. Anak Sospol demo apa hebatnya? Itu sudah habitatnya, demo itu praktikum mereka, ada 50 SKS disana. Nah, Kalau anak FK seperti aku jadi macan demo, itu baru hebat, kan?. Makanya aku jadi demonstran telah dikenal sampai ke pusat. Aku gak jadi dokter pun gak papa, karena aku kuliah memang tujuannya jadi demonstran kayak Bang Hariman itu, lah.”
Henky memang pemuja Bang Hari, makanya cita-citanya sewaktu SMA adalah jadi pendemo dari FK, bukan jadi dokter. Dan entah angin duduk darimana, Si Henky akhirnya bisa lulus juga tetapi pas banget 10 tahun, batas akhir DO. Dan kabarnya, dia sekarang bikin susah Dinas Kesehatan di daerah Batang Hari, karena semua penyelewengan, mark up pengadaan vaksin imunisasi, proyek fiktif rehabilitasi puskesmas, penyelewengan askin dan lain-lain di kabupaten itu dia adukan ke mana-mana. Orang DINAS menggelari Henky si trouble maker dan berusaha sedemikian rupa supaya dia pergi dari kabupaten itu. Namun si Henky innocent tak ada cacat ditemukan untuk menjadi alasan pengusiran. Disamping itu, kabupaten lain di seluruh negeri Gemah Ripah ini tidak ada yang mau Henky masuk ke wilayahnya. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, dia akan tetap disana menjadi duri dalam daging pejabat daerah Batang Hari yang terkait. Nasib!!
Wisuda S.Ked berlangsung biasa-biasa saja tak terlalu mengharukan, karena memang di kedokteran S.ked. itu gelar tak bergigi, belum bisa mengobati orang, hanya lulus bidang akademis. Makanya di beberapa universitas di Jawa, Dokter itu dianggap sarjana satu setengah. S1 nya S.Ked., lalu ambil profesi 2-3 tahun dianggap setengah S2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar