Kamis, 20 Oktober 2011

Ruang Rahasia yang Kau Buka

“Aku sudah tahu semuanya. Se-mu-a-nya”
Kamu berkata demikian setelah aku mendengar erangan pintu yang terbuka dan menyadari kunci itu hilang di saku kanan celanaku.
 ***
Halo, dirimu…
Hatiku bagikan suatu bangunan yang besar dengan banyak ruang-ruang didalamnya. Aku tidak bisa menghitung berapa banyak ruang yang ada di dalamnya. Mungkin hanya Tuhan yang tahu. Bersamamu, aku mengizinkanmu masuk ke beberapa ruang di hatiku. Ke ruang hati yang ini maupun yang itu, dengan senang hati aku membawamu singgah bahkan menginap didalamnya.
Namun, aku punya beberapa ruang hati yang rahasia untukmu, yang aku harap kamu tidak pernah melihatnya, bahkan mengetahuinya. Satu ruang yang aku sembunyikan baik-baik. Aku punya alasan untuk menyembunyikan ruang itu, walau mungkin hanya aku dan Tuhan yang memahami.
Dengan seksama aku mengalihkanmu dari pandangan ruang itu. Aku bahkan memegang kuncinya dekat-dekat dari tubuhku agar kamu tidak punya kesempatan masuk ke ruang itu.
Tapi ternyata, Tuhan membantumu untuk melihat ruang itu. Ruang yang aku rahasiakan dan aku jaga rapat-rapat itu. Tanganmu menyelinap lewat belakang tubuhku, masuk ke saku celana kananku, mengambil kunci rahasia itu, dan kau berlari membawa serta kunci itu, meninggalkan aku dengan lelap mimpiku.
Kau membuka dan melihatnya. Pulang dengan amuk, amarah, dan murka. Memutuskan seluruh hubungan dan jabatan tangan kita. Dan semua amarahmu hanya dapat aku balas dengan diam dan sesal.
Kamu…membuka ruang itu.
***
Ruang itu seharusnya selalu tertutup. Agar semuanya seimbang dan baik-baik saja. 
Segera setelah kau membukanya, ruang itu mengeluarkan bala bagai kotak Pandora yang menghanguskan semuanya. Meninggalkan dinding antara kau dan aku. Tapi semua sudah terlambat.
Aku hanya bisa menyisakan maaf. 
Karena otakku terlanjur berhenti.
Dan dadaku sesak karena takut kehilanganmu.
***
Kita semua memiliki hal yang tidak ingin kita bicarakan kepada orang lain, di dalam kasusku, terutama pada kamu. Dan semua orang memiliki alasannya masing-masing untuk tetap tidak membicarakannya.
Ehem, salah satunya, agar tetap bisa beriringan denganmu. Aku tahu ini salah, tapi semua sudah terlambat. Dan ruang itu terlanjur terbuka.

Jika aku bisa memutar jarum jam kekiri, aku bisa memperbaikinya. Aku bisa langsung mengajakmu melihat ruang itu. Tapi, pasti kita tidak akan berjalan beriringan seerat kemarin. Iya, tidak?
Ah, tapi sial, ruang itu akhirnya kau buka
***
Halo, dirimu, maafkan aku, ya?
Kalau tidak bisa memaafkan, aku mengerti kok. Kalau kau memutuskan jabatan tangan kita, aku juga mengerti. Aku memang pantas mendapatkannya.
Aku menutup matamu dari ruang itu hanya karena aku terlalu ingin menghabiskan waktu bersamamu, beriringan jalan denganmu, dan menelan gelak tawa masing-masing.
Aku bisa membayangkan jika kamu masuk ke ruang itu sejak awal. Pasti waktuku bersamamu tidak akan seindah kemarin, iringan jalan kita pasti tidak berirama seperti kemarin, dan tawa kita pasti tanpa gelak yang hidup.
Setidaknya, itu menurut aku, dan ketakutanku.
Jadi, sekali lagi maaf.
Dan terima kasih, telah menjadi bagian hari-hariku yang indah. Terima kasih telah mau berkunjung ke ruang-ruang hatiku. Terima kasih telah singgah dan bermalam di ruang hatiku.
Jadi, terima kasih.
Selamat mengarungi ruang hati yang lain, teman. Semoga ruang hati yang lain lebih menyenangkan dan membahagiakanmu.
Hmm….teman, nanti aku pamit, boleh? Sekalian aku mengambil kunci ruang hatiku, yang masih kau simpan, yang kau ambil dari saku kanan celanaku.
Jadi, boleh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar