Rabu, 10 Agustus 2011

Dokter Muda, Maukah Kau Menikah dengaku?

Glek! Apa yang kau lakukan ketika ada pasien yang mengajakmu menikah? Syukur kalau pasien itu cakep terus kaya dan juga pintar. Lalu apa tanggapanmu jika pasien itu dekil and the kumal, banyak ngomong, jauh dari kata pinter, belum tentu kaya, dan dia adalah salah satu pasien yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa dengan diagnosa skizoafektif tipe manik?
“Bu dokter, ibu mau kan menikah dengan saya. Nanti waktu saya pulang, kita ke rumah saya bu dokter. Bu dokter kerja di kampung saya saja ya…” pasien itu terus berbicara dan jika diladeni ia tidak akan berhenti bercuap-cuap.  Dan begitulah orang-orang manik. Selalu memiliki tenaga berlebih, hiperaktif, dan seolah ngga ada capenya. Berbanding terbaling dengan pasien depresi yang cenderung pendiam, menarik diri, dan bahkan tidak mau makan sama sekali.
“Bu dokter, nama Bu dokter siapa dulu. Masa mau menikah tapi saya tidak tahu nama bu dokter.”
“Nih. Baca aja sendiri.” Aku menunjukkan badge namaku.
“Lida Fah. Fah. Fahriani.” Pasien itu kesusahan mengeja namaku. Orang normal aja sulit mengeja namaku, apalagi kamu.
“Bu dokter, jangan lupa ya. Ohya bu dokter, saya ngga nafsu makan. Bu dokter tolong resepin obat biar saya banyak makan ya. Lihat ni bu dokter, badan saya sudah kurus.” Selalu saja mengoceh. Melihatku sedang menulis resep, ia meminta obat ini itu. Ya, begitulah orang jiwanya sudah terganggu. Mau marah? Berarti saja aku dengannya. Tugasku saat itu adalah mengobatinya. Jadi, aku harus sabar. Sabar Liza. Sabar.
“Iya. Tapi kamu istirahat sana. Kalau kamu ngomong terus, kamu akan tambah kurus karena banyak ngabisin tenaga. Tidur sana,” suruhku. Pasien itupun nurut. Tetapi belum lima menit berselang, ia kembali ke pintu yang terbuat dari jeruji besi.
Kali ini dia tidak menggangguku lagi, tetapi mengganggu temannya yang sedang menghisap rokok.
“Mintalah sekali hisap. Kemarin kukasih kau hisap rokok aku,”pintanya. Pasien yang sedang menikmati sebatang rokokpun turut saja. Ia berikan rokok dari mulutnya untuk dihisap.
“Leman, kamu kok minta-minta rokok orang?” aku berpura-pura memarahinya.
“Kepingin kali aku bu dokter. Ngga papa ya bu dokter aku ngisap rokok kawanku.”
Begitulah pasien laki-laki di RSJ ini, mereka selalu saling berbagi. Mereka ngga hanya kompak, tapi terlalu kompak. Sampai-sampai rokok dari mulutnya pun juga dibagi. Tapi begitulah mereka. Terkadang aku iri dengan kekompakan mereka. Pernah suatu hari beberapa diantara pasien jiwa itu ingin melarikan diri dari RSJ, tapi karena ada satu yang membatalkan aksinya yang lainnya juga ngga jadi lari. Jika ada yang sakit, mereka juga saling menjaga.
Mereka itu ibarat anak-anak yang masih lugu. Ketika diajarkan A maka A pula yang mereka terima. Sehingga tak jarang jika ada orang yang mengalami gangguan jiwa diajarkan yang tidak-tidak maka mereka akan cepat mengikutinya.
Kembali ke pasien yang memintaku menikah dengannya. Ketika aku tidak lagi bertugas di ruangan itu, ternyata si Leman, begitu teman-temannya memanggil pasien itu, tetap saja menanyakan kabarku pada temanku yang bertugas setelahku.
“Dokter muda Lida mana? Kok ngga pernah kelihatan lagi. Dia mau kan menikah dengan saya bu dokter.”  begitu cerita temanku tentang si Leman itu.
Lebih baik tidak kupedulikan dari pada dia berharap yang tidak-tidak. Karena dulu pernah ada pasien yang seperti Si Leman ini. Pasien itu jatuh cinta pada seorang dokter muda dan sang dokter muda itu sangat memperhatikannya. Namun, ketika dokter muda itu sudah tidak lagi di bagian jiwa, pasien itu menjadi putus asa dan depresi. Pernah ia mencoba bunuh diri karena merasa sang dokter telah menyia-nyiakannya. Hii NGeri.
Kalo ada orang waras yang minta nikah tapi kita ngga suka aja bikin kewalahan, apalagi orang dengan gangguan jiwa yang ketika sadar nanti pasti tidak ingat apa yang dikatakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar