Kamis, 11 Agustus 2011

Saat Dokter Lelah

Belakangan ini, sering dijumpai waktu tatap muka antara dokter dan pasien sangatlah minim. Di beberapa tempat praktik, tatap muka dokter-pasien bisa jadi hanya sepuluh menit. Bahkan mungkin ada yang pernah mendapatkan waktu tatap muka hanya lima menit saja. Pasien masuk, ditanya seadanya, diberikan resep, kemudian keluar.
Sungguh ironis memang. Hal ini dapat berakibat pada waktu untuk menganalisa penyakit pasien (anamnesis) menjadi sedikit sekali. Terkadang pasien hanya dilihat sebagai “tubuh yang berpenyakit” saja. Bukan sebagai manusia yang juga mempunyai kodrat sosial dan spiritualnya. Boleh jadi ia sakit bukan karena bakteri maupun virus, tetapi masalah sosiallah yang menjadi biang keladinya.
Kelelahan. Nampaknya menjadi penyakit yang menggerogoti sebagian dokter-dokter kita. Kelelahan adalah hasil akhir dari ketidakpuasan terhadap suatu pekerjaan serta kurangnya waktu untuk beristirahat.
Dalam semalam, seorang dokter dapat menangani 20-30 orang pasien. Beberapa dokter bahkan bisa buka praktek hingga pukul 11 malam. Bagaimana kualitas pelayanan kesehatan bisa dijamin dari kondisi seperti ini ?
Memang, sejak di bangku kuliah dulu, seorang mahasiswa kedokteran telah dibiasakan untuk bekerja dibawah tekanan dan kelelahan. Hal ini semata-mata mempersiapkan mahasiswa kedokteran agar menjadi dokter yang tahan banting dalam segala situasi. Disaat dokter sedang tidurpun dan ada panggilan untuk mengobati pasien, seorang dokter wajib menjalankan tugasnya.
Namun, perlu diingat oleh kita semua. Dokter juga manusia biasa, sama seperti warga masyarakat lainnya yang mempunyai fisik dan jiwa yang bisa lelah juga. Ketika kelelahan datang, terkadang seorang dokter tidak dapat memberikan pelayanan terbaik yang ia punya kepada pasiennya.
Kelelahan inilah yang membuat sebagian dokter-dokter kita menjadi enggan menanyai lebih jauh kondisi pasien. Dokter terkungkung pada alasan-alasan medis yang membuat proses penggalian informasi menjadi berat sebelah. Analisa dokter lebih banyak berkutat pada keluhan pasien yang dihubungkan dengan ilmu kedokteran, daripada kondisi kejiwaan, lingkungan, keluarga, bahkan hal yang jarang tersentuh semisal kondisi politik.
Mungkin terlihat tidak masuk akal, bagaimana kondisi politik dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pasien. Namun hal ini sungguh sangat dimungkinkan. Seusai pesta demokrasi beberapa waktu yang lalu contohnya, beberapa calon legislatif yang gagal mengalami depresi berat. Mereka dilaporkan masuk rumah sakit karena timbulnya penyakit sebagai wujud dari depresinya itu.
Dari data yang penulis peroleh ketika melakukan kunjungan di beberapa puskesmas di Yogyakarta, penyakit psikosomatis masuk dalam daftar 10 penyakit yang paling sering ditangani oleh puskesmas. Penyakit psikosomatis adalah penyakit yang timbul dikarenakan kondisi psikologis (kejiwaan) seseorang yang mengakibatkan gejala-gejala mirip penyakit fisik. Misalnya tiba-tiba sakit perut ketika dalam keadaan tegang.

Salah siapa ?

Kita mungkin akan menyalahkan dokter yang menerima begitu banyak pasien sehingga kualitas pelayanannya menjadi turun. Atau mungkin menyalahkan pasien yang rela tetap datang walaupun antrian sudah sangat panjang. Bahkan menyalahkan pemerintah yang tidak baik dalam mengatur penyebaran dokter di Indonesia.
Namun, ini adalah kesalahan kita bersama. Dokter, pasien dan pemerintah mempunyai kontribusi dalam masalah ini.
Untuk mengatasinya kita dapat bertindak sesuai dengan peran kita masing-masing. Sebagai seorang dokter, sebaiknya tidak menganggap profesi dokter seperti pekerja kantoran, datang pagi pulang petang.
Karena yang dilayani adalah manusia, bukan barang ataupun produk, seharusnya dokter adalah profesi yang sangat menyenangkan bukan malah membebankan. Pasien dengan suka rela membagi kepercayaan, cinta, rasa sakit, sedih, dan rasa hormat mereka kepada dokter. Kedekatan ini hampir bisa menyamai peran seorang anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya. Karena itu bisa saja kita anggap bahwa kedekatan dokter-pasien adalah seperti keluarga juga.
Karena dokter adalah “keluarga” bagi pasiennya, maka tentu saja dokter akan menjalankan praktik kedokterannya seperti merawat keluarganya sendiri. Apakah kita pernah merasa capek merawat orang tua atau anak kita sendiri ? Rasanya tidak. Karena itu, konsep menjadikan pasien seperti keluarga kita menjadi hal yang sangat penting.
Sebagai seorang pasien, kita juga harus bersikap adil. Dokter bukanlah orang yang dapat menerawang ke dalam hati kita, melihat apa sebenarnya masalah utama kita. Memang salah satu tugas dokter adalah mengajukan pertanyaan, kemudian kita sebagai pasien menjawab. Tetapi alangkah baiknya, jika pasien mendukung dokter dalam penggalian informasi itu. Kita tidak malu untuk mengungkapkan masalah-masalah yang secara langsung ataupun tidak langsung berhubungan dengan penyakit kita. Sehingga dokter mampu memberikan penanganan yang terbaik kepada pasien.
Kepada pemerintah, terlebih lagi kepada Departemen Kesehatan yang mengatur penempatan dokter-dokter di Indonesia, alangkah baiknya memeratakan peletakan tempat praktik dokter. Sehingga dapat meminimalisasi penumpukan pasien di satu tempat saja.
Semoga kita dapat menjalankan peran kita masing-masing dengan baik. Jika hal ini dapat terwujud, Indonesia yang sehat bukanlah sekedar wacana lagi, tetapi realita. Mari wujudkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar