Senin, 01 Agustus 2011

Globalisasi=Dunia Infeksi??

Saya baru saja membaca jurnal mengenai reemerging dan emerginf disease dan saya mendapatkan suatu fakta yang menarik.  Jurnal tersebut berjudul:

Emerging and Reemerging Disease: The Third Epidemiological Transition

Sungguh menarik karena ternyata artikel ini membahas perjalanan dunia dalam menghadapi penyakit. Secara singkat pada awalnya dunia menghadapi penyakit infeksi karena memang banyak penyakit infeksi bermunculan dan saat itulah awal dari majunya dunia kedokteran. Saat sudah mulai didapatkan obat-obatan untuk menangani infeksi tadi maka dunia kesehatan menghadapi penyakit yang berbeda lagi
Didukung oleh mulai majunya perindustrian maka beban dunia yang sebelumnya besar terhadap penyakit infeksi yang notabene adalah penyakit akut beralih menjadi penyakit-penyakit kronis. Mengapa??Ketika obat-obatan mulai maju, angka harapan hidup semakin panjang namun semakin banyak polusi akibat majunya industri dan teknologi maka penyakit yang mulai banyak adalah penyakit degeneratif dan penyakit kronis. Banyak para ahli kesehatan yang mengatakan untuk “menutup buku” mengenai penyakit infeksi dan berfokus ke penyakit kronis. Namun ternyata ada beban baru yang harus ditanggung dunia kesehatan sekarang ini.
Apakah itu??Yaitu trend terhadap new emerging and reemerging disease. Ada 3 trend dalam babak baru penyakit sekarang ini:
1. Munculnya penyakit-penyakit baru dengan agen-agennya yang baru. Dari tahun 1971, CDC (Center for Disease Control) telah mencatat hampit 30 agen infeksi baru yang menyebabkan mortalitas tinggi pada manusia dan sebagian besar dari agen tersebut adalah Virus

2. Penyakit infeksi yang terlupakan yang sebelumnya sudah sangat bisa ditangani kini muncul lagi akibat resisten terhadap obat yang lama
3. Semakin banyaknya mikroba yang resisten terhadap Antibiotik.
Adapun yang menyebabkan trend penyakit kini makin berubah antara lagi:
1. Pemanasan global, lingkungan semakin hangat dan akan semakin memberikan suhu lingkungan yang kondusif bagi para agen infeksi tersebut untuk berkembang biak. Selain itu, juga memberikan suhu lingkungan yang baik juga bagi para vektor-vektor para agen infeksi tersebut untuk berkembang biak juga.
Salah satu vektor agen infeksi
Selain itu pemanasan global juga memberi efek pada evolusi dari para agen-agen infeksi ini sehingga akan menyebabkan agen infeksi yang sama namun dengan faktor virulensi  yang berbeda dan dapat menyebabkan kemungkinan penyakit yang berbeda juga dan keparahan yang berbeda.
2. Globalisasi semakin membuat batas negara menjadi hilang dan perpindahan antar negara menjadi bebas sehingga dapat memudahkan dan membantu penyebaran penyakit-penyakit ini. Selain itu, perdagangan para host dari agen infeksi juga semakin bebas sehingga dapat menukarkan penyakit antar negara dengan semakin mudah

3. Pemakaian antibiotik dan antimikroba secara besar-besaran yang tidak terkontrol telah menyebabkan adaptasi dari mikroba tersebut untuk bertahan dari obat yang lama. Bahkan pembentukan dari mikroba yang resisten ini lebih cepat dari penemuan obat-obat baru berikutnya untuk mematikan mikroba yang telah resisten.

Globalisasi memang banyak memberikan dampak dan apakah dunia harus kembali menghadapi penyakit-penyakit infeksi ini??Semuanya itu tergantung dari manusia sendiri. Adapun usaha yang setidaknya dilakukan oleh manusia adalah;
1. Menjaga ekologi dan menjaga lingkungan terutama untuk mencegah dan menekan pengembang biakan agen-agen infeksi tersebut
2. Menjaga higienitas diri dan lingkungan ini dilakukan untuk meminimalisir penularan ke diri sendiri maupun ke orang lain
3. Pemakaian tepat antibiotik. Adapun tepat tersebut berupa tepat pasien, tepat indikasi, tepat dosis, tepat regimen obat untuk meminimalisir munculnya mikroba yang resisten antibiotik.
4. Mengurangi penggunaan antibiotik pada hewan-hewan ternak karena penggunaan besar-besaran antibiotik pada hewan ternak juga berkontribusi terhadap resistensi antibiotik.


-L766HI-

Audit klinis: Sebuah realita di Indonesia

Saya baru saja mendapatkan materi praktikum mengenai audit klinis. Sebenarnya saya sangat tertarik dengan materi audit klinis ini. Sebelumnya saya akan menjelaskan sedikit tentang audit klinis. Audit klinis ini merupakan suatu kegiatan untuk menilai jalannya suatu sistem penilaian kesehatan dan bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan nantinya.
Untuk penjelasan jelas mengenai audit klinis dapat didownload di

Tentang Audit Klinis


Setiap rumah sakit pasti akan selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas mutunya dan sudah pasti audit klinis tersebut akan selalu teratur dilakukan. Namun mengapa selalu saja mutu dari Rumah Sakit Indonesia selalu bermasalah??Berikut adalah faktor yang menurut saya mempengaruhi hal tersebut:
1. Sistem senioritas dalam rumah sakit di Indonesia masih sangat amat tinggi dan dalam audit klinis salah satu kriteria yang dibutuhkan adalah mendapatkan persetujuan dari pada klinisi. Kalau misalnya ada bagian yang harus diaudit dan memang benar harus diaudit tapi tidak mendapatkan persetujuan klinisi, maka tidak akan dapat dilakukan audit klinis. Lalu mengapa audit klinis harus mendapatkan persetujuan dari klinisi??Karena nantinya akan terkait dengan sistem perbaikannya. Kalau dari awal saja para klinis tidak setuju maka rencana untuk perbaikan juga tidak akan bisa berjalan
2. Dana yang terbatas. Untuk dapat melakukan perbaikan tentunya sangat diperlukan dana. Nah mungkin audit ni telah dilakukan dan rencana perbaikan telah dibuat namun jika dana yang dibutuhkan tidak juga “cair” maka akan percuma dan proses perbaikan tidak akan bisa berjalan
3. Dokter masih banyak yang kurang update atau menganut ilmu/kebiasaan yang lama. Ini akan terkait dengan proses penyelenggaraan kesehatan. Ilmu kesehatan akn terus berkembang dan pengetahuan baru akan selalu ada. Namun kebanyakan dokter masih menganut kebiasaan yang dulu dipelajari atau budaya yang biasanya dilakukan. Hal ini akan sangat menyulitkan proses perbaikan audit yang berdasar pada bukti ilmiah terbaru. Pernah saya mendengar seorang dosen yang mengatakan bahwa untuk sebuah guideline kesehatan yang baru dibutuhkan sekitar 10 tahun untuk menerapkannya pada proses rumah sakit. Padahal tiap tahun pasti ada penelitian dan pengetahuan yang baru.
4. Proses audit klinis dan rancangan perbaikan kadang hanya sekedar audit. Sifat buruk Bangsa Indionesia adalah melakukan perbaikan tanpa adanya pelakasanaan. Walaupun rencana pelaksanaanya ada namun kadang pelaksanaannya sulit dan ujung-ujungnya tidak ada mutu perbaikan
Oleh karena itu untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui sistem audit klinis perlu kerjasama dari semua pihak:
1. Dari pihak para klinisi sendiri/kolegium/perhimpunan dokter harus dapat menerima suatu bagian yang harus diaudit dan mau menerima secara lapang dada jika ada suatu proses yang berjalan kurang tepat dan harus diperbaiki
2. Dari pihak dokter secara individu harus terbuka dengan ilmu yang baru dan selalu update. Para dokter diharapkan juga memiliki pandangan luas dan tidak terikat dengan budaya yang sudah lama/tidak sesuai lagi dengan zamannya
3. Dari petinggi rumah sakit sendiri/regulator agar melakukan sistem pengawasan yang baik terhadap pelakasanaan perbaikan mutu hasil audit klinis ini. Dan kalau perlu adanya pemberian sangsi terhadap pihak-pihak yang tidak mendukung dalam perbaikan mutu.
4. Untuk mengantisipasi masalah dana sendiri diharapkan para auditor untuk memilih rencana perbaikan yang efektif dan efisien. Dipilih jalan keluar yang memiliki dampak besar, mudah dilakukan dan murah secara dana.
5. Rumah sakit harus mensosialisasikan rencana perbaikan dengan baik ke seluruh tenaga dalam suatu rumah sakit sehingga tiap orang dapat berupaya dan berperan  dalam peningkatan mutu kesehatan
6. Mengubah budaya NATO (Np Action Talk Only) menjadi budaya action. Ini terkait dengan pelaksanaan perubahan. Memang mungkit sulit untuk mngubah budaya namun jika perubahan ini dimulai dari hal-hal kecil pasti bisa dilakukan sampai hal-hal yang besar
-L766HI-

Banyak Puskesmas tanpa dokter!!!

Saya menemukan artikel yang menarik mengenai ketidakmerataan tenaga kesehatan di Indonesia. Artikel tersebut saya dapatkan dari link
Berita tentang Puskesmas yang tidak ada dokter
berikut adalah artikelnya:
Puskesmas Tanpa Dokter
Jumat, 8 Oktober 2010 10:32 WIB
Dalam sebuah berita disebutkan bahwa ada 1600 Puskesmas yang tidak memiliki dokter. Dari sekitar 9000 Puskesmas di seluruh Indonesia ini, berarti sekitar 15 persen yang tidak ada dokternya. Dari sekitar 70 buah Fakultas Kedokteran di Indonesia, setiap tahun dihasilkan sekitar 4000 – 5000 orang dokter. Seharusnya, kekurangan dokter untuk Puskesmas itu tidak terjadi. Maka kalau hal itu terjadi, kemungkinan penyebabnya bisa bermacam-macam.
Pertama, tidak ada dokter yang mau ditempatkan di Puskesmas, apalagi di daerah terpencil. Penyebab yang ini agak kurang dapat diterima karena para dokter baru itu tentu mencari tempat untuk bekerja. Kalau mereka hanya berkumpul di kota besar akan sulit baginya mencari nafkah karena di kota sudah banyak “pesaing” yang sudah lebih dulu “mempunyai pasar”.
Kedua, pemerintah daerah tidak memerlukan mereka. Sebagaimana diketahui, dalam masa otonomi daerah seperti sekarang ini tanggung jawab masalah kesehatan terletak di pemerintah daerah. Kalau benar mereka memerlukan dokter, seharusnya mereka aktif mencari dokter. Bila perlu dengan menjanjikan remunerasi dan insentif yang menarik. Bagaimana pun juga dokter adalah manusia yang juga ingin hidup dari pekerjaannya.
Ketiga, pemerintah daerah memerlukan tetapi mengharapkan pemerintah pusat yang menempatkan dan sekaligus menggajinya. Dengan kata lain, pemerintah daerah berpendapat bahwa tugas penyediaan dokter adalah pada pemerintah pusat. Di sisi lain pemerintah pusat tidak mempunyai cukup dana untuk mengirim dokter ke daerah-daerah.
Keempat, pemerintah pusat terlalu masih ingin menangani sendiri semua masalah, termasuk penempatan dokter. Maka setiap dokter baru harus mencatatkan diri ke Kementerian Kesehatan dan Kementerian Kesehatanlah yang akan menetapkan ke mana dokter itu harus pergi. Tentu saja ini akan membebani pemerintah pusat dan membuat banyak dokter menunggu kepastian ke mana ia harus bertugas. Apalagi jika pemerintah pusat tidak mempunyai dana untuk mengirim mereka, masalah akan menjadi makin ruwet. Model begini juga membuka peluang untuk korupsi melalui “jual beli” tempat tugas. Tempat yang enak akan berharga lebih mahal.
Kelima, pemerintah memang tidak mempunyai strategi pemanfaatan dokter secara jelas. Bagaimana pemecahannya? Ada beberapa cara. Pertama, menyuruh pemerintah daerah untuk mencari sendiri dokter yang mereka perlukan. Pemerintah pusat hanya memberi panduan dan informasi mengenai ketersediaan dokter. Toh, puskesmas itu milik pemerintah daerah.

Kedua
, pemerintah pusat mengatur agar kota-kota besar tidak terlalu “serakah” dalam menyerap dokter. Perlu didorong adanya pemerataan penyerapan dokter. Sekarang ini, sementara pemerintah pusat dan beberapa pemerintah daerah mengeluh banyaknya puskesmas yang tanpa dokter, di Jakarta hampir tiap kelurahan ada puskesmas, dan beberapa puskesmas mempunyai lebih dari satu dokter.
Ketiga, ketentuan bahwa penempatan dokter perempuan harus satu kota dengan suami dicabut. Tetapi ada imbalan yang berupa “tunjangan pisah keluarga” seperti di TNI. Keempat, menyatukan organisasi puskesmas dengan rumah sakit daerah, dan RSUD bertanggung jawab untuk membina puskesmas-puskesmas di wilayahnya. Antara lain, dengan mengirim dokter dari rumah sakit ke daerah-daerah binaan secara bergantian. Kalau perlu RS Swasta juga dilibatkan.
Dengan kata lain, puskesmas-puskesmas dijadikan outreach clinic dari rumah sakit tersebut. Hal itu dilakukan di China, dan juga Yugoslavia sebelum pecah. Upaya terakhir, minta bantuan negara tetangga, seperti dulu Malaysia pernah minta bantuan dokter Indonesia, untuk puskesmas mereka di tahun 70-an.
Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Menarik memang dan sangat ironi untuk melihat realita diatas. Disebutkan bahwa setiap tahun Indonesia menelurkan 4000-5000 dokter namun hanya mengisi Puskesmas saja tidak bisa. Alasan tersebut memang benar namun perlu ada hal-hal yang menjadi pertimbangan:
1. Memang benar kalau di tempat terpencil dibandingkan daerah kota pendapatan akan lebih besar namun perlu dipertimbangkan faktor-faktor lain di daerah tersebut seperti:
- Pendidikan anak-anak: kalau pendapatan besar tapi tidak bisa menjamin pendidikan anak-anak para dokter maka kemungkinan enggan ada orang yang bekerja disana
-Fasilitas dalam kota: dalam bekerja, seorang dokter tidak hanya bekerja saja tapi juga perlu rekreasi dan refreshing. Kalau dalam daerah tersebut sangat terpencil dan tidak tersedia fasilitas lain akan menjadi pertimbangan lain dokter tersebut
-Pengembangan karir: setiap orang pasti ingin mengembangkan karir dan jika saja pemerintah daerah mampu menjamin karir para dokter tersebut, mungkin akan banyak dokter yang tertarik
Pada point 2, memang benar kalau pemerintah daerah sendiri harus secara aktif untuk mencari dokter jika memang memerlukan, namun mengenai pemberian insentif pemeritah sudah mengatur pada Undang-Undang. Dapat dilihat di
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 156/Menkes/SK/I/2010
Hanya saja, sekali lagi kenapa para dokter tidak juga tertarik karena:
- Kebijakan tersebut masih generik
-Tidak adaindentifikasi mengenai kualitas dan penggambaran daerah terpencil yang ditujukan seperti apa sehingga dokter menjadi buta terhadap kota yang akan ditujunya
Untuk poin ketiga, perlu ada sosialisasi pemerintah pusat sendiri. Indonesia kan sekarang sudah menganut sistem desentralisasi dan pemerintah pusat seharusnya sudah dapat membagi tugas dengan pemerintah daerah mengenai hal yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat
Untuk poin keempat, saya setuju dengan reorganisasi sistem dalam pembagian penempatan dokter..Jangan terlalu lama dan jangan sampai “menggantung” nasib para dokter yang sudah ingin ditempatkan
Komentar untuk pemecahan poin kedua sebenarnya saya rasa tidak tepat kalau dikatakan istilahnya adalah daerah menyerap. Sebenarnya bukan salah daerah yang terlalu banyak menyerap tapi itu merupakan keinginan pribadi dokter sendiri yang ingin bekerja di daerah yang memiliki fasilitas memadai. Seharusnya dikatakan bahwa daerah sendiri yang memberikan kuota terhadap jumlah dokter yang akan masuk
Untuk pemecahan poin ketiga, saya rasa semua orang akan memilih tinggal bersama keluarga daripada diberi tunjangan besar namun pisah. Akan sangat lebih baik lagi kalau misalnya diberi tunjangan dan jaminan bagi para dokter perempuan yang berhasil membawa seluruh keluarganya untuk ditempatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar